PENDIDIKAN
SEKSUAL PADA ANAK
DALAM
HUKUM ISLAM
Dr. H. Amirudin, Drs., M.Pd.I.
Dosen Fakultas Agama Islam Unsika Karawang
ABSTRAK
Pendidikan adalah salah satu bagian yang terpenting
dalam kehidupan manusia, sehingga karakter seseorang
sangat ditentukan oleh baik buruknya kualitas pendidikan yang didapatkan. Orang
tua sebagai pihak pertama yang bertanggung jawab terhadap keselamatan putra dan
putrinya, tentu menginginkan pendidikan yang bermutu untuk
setiap buah hatinya. Oleh karena itu orang tua akan selau berupaya untuk
memenuhi pendidikan anak, mulai dari menyekolahkan mereka ke sekolah-sekolah
unggulan yang bertujuan agar anak berprestasi, bermutu dan mempunyai kepribadian
yang baik.
Tanggungjawab
orang tua tidak hanya mencakup pada kebutuhan materi saja, akan tetapi sesungguhnya mencakup kepada seluruh
aspek kehidupan anaknya, termasuk di dalamnya menanamkan agar anak menjadi
pribadi yang baik, dan salah satunya adalah memberikan pendidikan seksual. Karena dengan
memberikan pendidikan seksual yang tepat, akan
mengantarkan anak menjadi insan yang mampu menjaga dirinya dari
perbuatan-perbuatan yang terlarang seperti perbuatan zina. Pemberian
pendidikan seksual inilah yang belum dilaksanakan orang tua, karena di anggap
tabu, padahal dengan memberikan pengetahuan tentang seksual, maka anak
akan mengetahui
fungsi organ seks, tanggungjawabnya, halal haram yang berkaitan dengan organ seks,
dan dapat menghindari
penyimpangan prilaku seksual sejak dini.
Kata Kunci : Keluarga, Pendidikan, Seksual Anak, Hukum Islam
A.
Pendahuluan
Fenomena
yang banyak terjadi akhir-akhir ini adalah banyaknya kasus tindakan kejahatan
seks yang didominasi oleh kalangan dibawah umur. Banyak hal yang menyebabkan
anak-anak di masa remaja melakukan penyimpangan seksualitas atau seks bebas
sebagai cara pelarian dari berbagai persoalan serta kurangnya kemampuan anak
untuk mengendalikan diri dari emosinya.
Seiring dengan perkembangan zaman, pendidikan yang
didapatkan oleh seorang anak dari lembaga formal dirasakan masih kurang,
apalagi berkaitan dengan seksual. Akses informasi seks yang sangat mudah dari
berbagai media akan mempercepat hancurnya generasi penerus bangsa.
Informasi tersebut dapat diperoleh dengan sangat mudah baik lewat
internet, HP, buku komik dewasa dan anak, televisi (sinetron, film), CD, play
station, serta media lainnya, menyerbu anak-anak yang dikemas sedemikian
rupa sehingga perbuatan seks dianggap lumrah dan menyenangkan.
Jalan
satu-satunya menyikapi fenomena ini adalah kita harus membentengi anak-anak
kita dengan nilai-nilai seksualitas yang benar, yang dilandasi dengan agama.
Dewasa ini masalah seks pranikah pada remaja banyak menjadi sorotan dikarenakan
angkanya yang semakin hari semakin meningkat. Banyak kasus-kasus aborsi yang
dilakukan oleh remaja. Umumnya remaja melakukan hubungan seks karena didasari
rasa suka sama suka. Salah satu penyebab terjadinya hubungan seks di luar nikah
pada remaja adalah kurangnya pengetahuan remaja mengenai seks itu sendiri.
Pada masa anak-anak
sampai dewasa disebut dengan masa transisi, dan masa ini berlangsung
pertumbuhan dan perkembangan yang kompleks baik dari segi fisik maupun psikis.
Salah satu perkembangan yang terjadi pada masa ini íalah perkembangan seksual
yang berada dalam potensial seksual aktif. Hal ini terjadi seiring dengan
berfungsinya organ reproduksi.
Perkembangan
seksual yang terjadi pada remaja seharusnya dibarengi dengan pemenuhan
pendidikan seksual yang baik oleh keluarga, dalam hal ini, orang tua baik di
rumah atau melalui lembaga formal yaitu sekolah, agar remaja tidak
bingung serta dapat memahami pekembangan yang terjadi di dalam dirinya serta
bagaimana menyikapinya. Namun pendidikan seks masíh menjadi polemik saat ini,
karena sebagian orang masih menganggap penting atau tidaknya pendidikan seks
diberikan. Kenyataannya masíh banyak orang tua yang menganggap tabu ketika
memberikan pendidikan seks pada anaknya. Di sisi lain, sekolah belum bisa
berperan secara optimal dalam memberikan pemahaman tentang pendidikan seks pada
anak karena belum masuk di dalam kurikulum.
Tingkat sosial
ekonomi maupun tingkat pendidikan yang heterogen di indonesia menyebabkan ada
orang tua yang mau dan mampu memberikan pengetahuan tentang seks, tetapi lebih
banyak yang tidak mampu dan tidak memahami masalah tersebut. Hal yang paling
mencolok ádalah kurangnya pengetahuan orang tua tentang seks, apalagi yang
berada di daerah-daerah terpencil. Untuk itulah Sangat dibutuhkan pengetahuan
orang tua, mengingat orang tua ádalah guru pertama bagi anak. Dengan demikian orang tua, sangat perlu
untuk mengetahui apa itu pendidikan seks? Seberapa penting pendidikan seks bagi
pendidikan anak-anaknya? Bagaimana Islam mengajarkan tentang pendidikan seks
buat umatnya? Apa tujuan pendidikan seks dalam islam? Adakah tahapan umur dalam
menyampaikan pendidikan seks pada anak?
Berdasarkan
hal tersebut di atas, maka orang tua perlu memberikan pengertian dan
pemahaman yang terarah mengenai pendidikan seks. Karena jika tidak demikian, anak akan
merasa kurang diperhatikan dan kurang informasi mengenai seks yang seharusnya
ia dapatkan. Akibatnya, anak cenderung akan mencari informasi di luar lepas
dari kendali orang tua. Selain peranan orang tua, dalam hal ini lembaga atau
instansi yang berwenang dalam mendidik anak didiknya juga harus lebih
menanamkan pentingnya tujuan dalam penerapan pendidikan seks sesuai dengan
tahapan perkembangan usia. Sasaran
utama penanaman pendidikan seks ini diarahkan kepada anak-anak maupun remaja
sesuai dengan perkembangan usia dan manfaatnya untuk menambah pengetahuan anak dalam
mengalami perubahan-perubahan dari perilaku yang menyimpang yang terjadi pada anak saat ini.
B. Peran Keluarga dalam Pendidikan Seksual
Keluarga adalah
salah satu kelompok atau kumpulan manusia yang hidup bersama sebagai satu
kesatuan atau unit masyarakat terkecil dan biasanya selalu ada hubungan darah,
ikatan perkawinan atau ikatan lainnya, tinggal bersama dalam satu rumah yang
dipimpin oleh seorang kepala keluarga dan makan dalam satu periuk.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat, yang
disusun oleh Pusat Bahasa, Kementerian Pendidikan Nasional bahagia berarti (1) keadaan atau perasaan senang dan
tenteram (bebas dari segala yang
menyusahkan), contohnya: “bahagia
dunia akhirat”, “hidup penuh bahagia”;
(2) beruntung; berbahagia, contohnya: Saya betul-betul merasa bahagia karena
dapat berada kembali di tengah-tengah keluarga.
Selanjutnya Bakir Yusuf Barmawi mengatakan :
Keluarga merupakan satu kesatuan (unit)
yang terkecil dari masyarakat. Ia merupakan batu sendi, tempat membangun hidup
bermasyarakat dan bernegara. Mutu suatu masyarakat (umat) ditentukan oleh mutu dari kesatuan primer ini.
Sarlito
Wirawan Sarwono dalam buku Menuju Keluarga Bahagia membagi makna umum keluarga ke dalam dua pengertian. Pertama,
keluarga sebagai ikatan kekerabatan antar individu. Keluarga dalam pengertian
ini merujuk kepada individu-individu yang memiliki hubungan darah melalui
pernikahan. Kedua, keluarga adalah sinonim dari rumah tangga. Dalam
pemaknaan demikian ikatan kekerabatan tetap tidak diabaikan. Hanya saja yang
ditekankan adalah adanya kesatuan hunian yang bersifat ekonomis. Faktor-faktor
lain dalam mengartikan keluarga adalah batas-batas yang menentukan siapa saja
yang termasuk dalam anggota keluarga, dan siapa yang bukan. Karena itu, semakin
erat pertalian keluarga berdasarkan hubungan darah, kian besar kemungkinan
seseorang dianggap sebagai anggota keluarga meskipun sebenarnya hubungan darah
bukanlah satu-satunya faktor kategoris.
Sedangkan pengertian pendidikan
seksual secara garis besar dapat
diklasifikasikan menjadi dua. Pendapat pertama menganggap bahwa pendidikan seks
sama dengan penerangan tentang anatomi fisiologi seks manusia, tentang
bahaya-bahaya penyakit kelamin dan sebagainya. Pendapat kedua mengatakan bahwa
pendidikan seks sama dengan sex pay, hanya perlu diberikan kepada orang
dewasa. Abdullah Nashih Ulwan mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan
pendidikan seks adalah : “Masalah mengajarkan, memberi pengertian, dan
menjelaskan masalah-masalah yang menyangkut seks, naluri dan perkawinan kepada
anak sejak akalnya mulai tumbuh dan siap memahami hal-hal di atas”.
Abdul
Aziz El Quussy mengemukakan bahwa pendidikan seks ialah “pemberian pengalaman
yang benar kepada anak, agar dapat membantunya dalam menyesuaikan diri di
bidang seks dalam kehidupannya di masa depan”.
Dan
menurut DR. Sarlito Wirawan Sarwono, pendidikan seks adalah : “Pendidikan
seks bukanlah penerangan tentang seks semata-mata. Pendidikan seks sebagaimana
pendidikan lain pada umumnya (Pendidikan Agama atau Pendidikan Moral Pancasila
misalnya) mengandung pengalihan nilai-nilai dari pendidik ke subjek didik.
Dengan demikian informasi tentang seks tidak diberikan secara “telanjang”,
yaitu dalam kaitannya dengan norma yang berlaku dalam masyarakat, apa yang
lazim dan bagaimana cara melakukannya tanpa melanggar aturan”.
Selanjutnya Sarlito dalam bukunya Psikologi Remaja (1994), secara umum
pendidikan seksual adalah suatu informasi mengenai persoalan seksualitas
manusia yang jelas dan benar, yang meliputi proses terjadinya pembuahan,
kehamilan sampai kelahiran, tingkah laku seksual, hubungan seksual, dan
aspek-aspek kesehatan, kejiwaan dan kemasyarakatan. Masalah pendidikan seksual
yang diberikan sepatutnya berkaitan dengan norma-norma yang berlaku di
masyarakat, apa yang dilarang, apa yang dilazimkan dan bagaimana melakukannya
tanpa melanggar aturan-aturan yang berlaku di masyarakat. Pendidikan seksual
merupakan cara pengajaran atau pendidikan yang dapat menolong muda-mudi untuk
menghadapi masalah hidup yang bersumber pada dorongan seksual. Dengan demikian
pendidikan seksual ini bermaksud untuk menerangkan segala hal yang berhubungan
dengan seks dan seksualitas dalam bentuk yang wajar.
DR. Arief Rahman Hakim dan Drs. Fakhrudin-SMU Lab School Jakarta berpendapat bahwa pendidikan seks adalah perlakuan sadar dan
sistematis di sekolah, keluarga dan masyarakat untuk menyampaikan proses
perkelaminan menurut agama dan yang sudah diterapkan oleh masyarakat. Intinya
pendidikan seks tidak boleh bertentangan dengan ajaran agama. Muhammad Sa’id Mursi bahwa pendidikan seks menurut Islam adalah
upaya pengajaran dan penerapan tentang masalah-masalah seksual yang diberikan
pada anak, dalam usaha menjaga anak dari kebiasaan yang tidak Islami serta
menutup segala kemungkinan kearah hubungan seksual terlarang (zina).
Dari
definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
pendidikan seks adalah membimbing serta mengasuh seorang anak agar mengerti
tinggi arti, fungsi dan tujuan seks, sehingga ia dapat menyalurkan ke jalan
yang legal. Pendidikan seks yang disuguhkan kepada anak, bukanlah penerangan
tentang seks semata-mata, tetapi dikaitkan dengan nilai-nilai yang sesuai
dengan syari’at Islam. Sehingga mampu mengarahkan diri anak untuk lebih dekat
dan mencintai Allah SWT
Berdasarkan uraian tersebut di atas,
maka peran keluarga dalam memberikan bimbingan
dan penerangan seks kepada anak merupakan suatu yang sangat penting dan perlu, sebab dengan adanya pendidikan seks dalam keluarga, seorang anak akan
terhindar dari ekses-ekses negatif dalam kehidupan seksualnya. Upaya
pendidikan seks dalam keluarga yang paling efektif adalah dengan menciptakan
situasi yang kondusif, orang tua
tidak perlu sungkan berdialog dengan anaknya mengenai berbagai masalah seks
sepanjang Islam masih membahasnya dan disesuaikan dengan kebutuhan dan tahap
perkembangan anak.
Para
ahli berpendapat bahwa pendidik yang terbaik adalah orang tua dari anak itu
sendiri. Oleh karena itu dalam membicarakan masalah seksual yang sifatnya
sangat pribadi dibutuhkan suasana yang akrab, terbuka dari hati ke hati antara
orang tua dan anak. Hal ini akan lebih mudah diciptakan antara ibu dengan anak
perempuannya atau bapak dengan anak laki-lakinya, sekalipun tidak menutup
kemungkinan dapat dilakukan antara ibu dengan anak laki-lakinya atau bapak
dengan anak perempuannya.
Dalam
memberikan pendidikan seks pada anak jangan ditunggu sampai anak bertanya
mengenai seks. Sebaiknya pendidikan seks diberikan dengan terencana, sesuai dengan
keadaan dan kebutuhan anak dan lebih baik pula pada saat anak menjelang remaja
dimana proses kematangan baik fisik, maupun mentalnya mulai timbul dan
berkembang kearah kedewasaan. Akan tetapi dalam
pelaksanaannya, ada beberapa faktor penghambat yang dihadapi oleh orang tua
yaitu : pengetahuan, kesadaran, ekonomi serta tingkat pendidikan orang tua yang
rata-rata menengah. Dewasa
ini, orang tua belum mampu secara maksimal memberikan pendidikan seks yang
layak dan benar kepada anak-anak mereka, disebabkan oleh beratnya beban
hidup yang harus dipikul oleh orang tua dalam pemenuhan kebutuhan hidup.
Sehingga mereka mempunyai keterbatasan waktu dengan anak-anak mereka di rumah,
selain itu mereka pun tidak mengerti kapan dan di mana pendidikan seks mulai
diberikan serta bagaimana cara menyampaikannya.
Selain faktor di
atas, masih adanya anggapan bahwa mengajak anak membicarakan seks akan
menghilangkan kewibawaan dan membingungkan orang tua, yang malu mengungkapkan
persoalan-persoalan seksual. Sehingga banyak remaja yang senang membahas masalah
seks dengan teman-temannya ketimbang dengan orang tua, karena hal ini dianggap
sebagai hal yang tabu.
Ada beberapa alasan
kenapa orang tua merasa tidak nyaman membahas masalah pendidikan seks yaitu :
1.
Kurangnya pengetahuan
untuk menjawab pertanyaan mengenai seksual maupun reproduksi.
2.
Tidak efektifnya
komunikasi anak dan orang tua.
3.
Tidak terciptanya suasana
keterbukaan, kenyamanan antara anak dan orang tua.
Dalam
menyampaikan pendidikan seks pada anak diperlukan teknik penyampaian yang
sangat hati-hati. Oleh karena itu penyajian pendidikan seks memerlukan metode
yang tepat, agar terarah dan mencapai sasaran yang sebenarnya, serta tidak
mengarah pada hal-hal yang negatif. Untuk itu akan dikemukakan beberapa metode
pendidikan seks.
Dan
menurut Dr. Abdullah Nashih Ulwan, metode pendidikan seks adalah : “(a)
Penyadaran (b) Peringatan (c) Ikatan”.
1. Penyadaran yaitu upaya penerangan terhadap anak tentang
beberapa hal yang membahayakan umat Islam khususnya dan umat manusia pada
umumnya. Karenanya sejak dini para pendidik hendaknya berperan aktif memberikan
kesadaran kepada putra-putri mereka agar seorang anak memahami, tanggap dan
sadar benar akan larangan mengumbar syahwat, berbuat merusak dan hal-hal yang
menimbulkan rangsangan.
2. Peringatan yaitu dengan memberikan gambaran (peringatan)
bahaya yang akan muncul akibat liarnya hawa nafsu dan pelecehan terhadap
nilai-nilai yang berlaku. Ia akan tumbuh di atas bentang yang kuat, akan
mencegah dan menahan diri dari perbuatan keji yang diharamkan, akan mengikuti
jalan Islam dalam akhlaknya dan tidak akan berpikir ingin memenuhi nalursi seks
kecuali melalui jalan yang dihalalkan oleh syari’at Islam.
3. Metode ikatan yaitu orang tua memberikan ikatan pada anak
terhadap keyakinan rohani, pemikiran, sosial dan aktivitas lainnya yang
bermanfaat. Ikatan inilah yang akan membawa anak pada kondisi konstan dan
kontinyu dalam menempuh kehidupan yang panjang ini. Apabila anak merasa terikat
dengan ikatan aqidah, pemikiran, sosial, maka ia akan terdidik atas dasar taqwa
bahkan akan memiliki benteng aqidah Ketuhanan yang akan menang melawan hawa
nafsu, dan akan berjalan lurus di atas kebenaran dan petunjuk.
C. Pendidikan Seksual Anak dalam Hukum Islam.
Perlunya pendidikan seks secara Islami
dimaksudkan agar anak dapat mengerti tentang seks yang benar dan sesuai dengan
landasan atau dasar agama. Tanpa ada landasan agama yang kuat, generasi anak
bangsa akan hancur terjerembab ke dalam kehinaan. Padahal Islam sangat
memperhatikan penyaluran hasrat seksual sesuai aturan dan etika yang benar.
Karena itu, Islam melalui syari'atnya mengajarkan pernikahan sebagai pintu yang
menyucikan hubungan seksual. Islam juga mengingatkan para remaja agar menjauhi
khalwat (berduaan dengan wanita atau laki-laki bukan muhrimnya).
Allah menata gerakan dan
kecendrungan-kecendrungan jiwa manusia dalam fase-fase pertumbuhan emosional,
social, bahasa, moral, dan gerak. Begitu juga Allah menentukan langkah-langkah
detail untuk mengendalikan kecendrungan seksual pada setiap individu. Mengingat
betapa penting kecendrungan naluriah yang satu ini dalam perilaku kemanusiaan, maka pembuat
syariat menetapkan aturan yang begitu ketat. Tidak disangsikan lagi
bahwa Islam tidak sekedar menganjurkan perbaikan prilaku seksual pada dunia
anak-anak, melainkan juga dalam kehidupan orang dewasa. Sebab jika seorang
pendidik muslim berhasil dalam menata kegiatan seksual pada orang dewasa (orang
tua), hal itu akan berpengaruh terhadap pendidikan seksual pada anak, di mana
orang tua khususnya mengajarkan pada anak sikap-sikap seksual yang aman atau
sehat.
Dalam hal ini, Islam mendeskripsikan bahwa
pendidikan seks bagi anak yang mendasar adalah perbaikan-perbaikan sikap bagi
orang tua dalam melakukan hubungan seks, dengan kata lain Islam menganjurkan bagi
orang tua untuk selalu memperhatikan sekitarnya ketika hendak melakukan
hubungan badan. Hal ini dapat dilihat dari hadits nabi yang artinya “ Demi
Tuhan yang diriku ada dalam genggaman-Nya, jika seorang suami menggauli
istrinya, sementara di rumah itu ada seorang anak kecil yang terbangun sehingga
melihat mereka, serta mendengar ucapan dan hembusan nafas mereka, ia tidak akan
mendapatkan keuntungan, jika anak itu baik laki-laki maupun perempuan melainkan
menjadi pezina.”
Pendidikan
seksual termasuk bagian pendidikan akhlak. Sedang pendidikan akhlak
adalah cabang dari pendidikan Islam. Terlebih kalau ditarik dalam dataran
tujuan menurut Al-Qur’an, maka tujuan pendidikan seks adalah untuk menjaga dan
memelihara agar seseorang tidak terjerumus dalam lembah kenistaan, yaitu
penyimpangan seks dalam berbagai bentuk. Pendidikan seksual dalam Islam
sebagaimana dijelaskan dalam Firman Allah surat An Nur ayat 58-60 yang berbunyi :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لِيَسۡتَٔۡذِنكُمُ ٱلَّذِينَ
مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡ وَٱلَّذِينَ لَمۡ يَبۡلُغُواْ ٱلۡحُلُمَ مِنكُمۡ ثَلَٰثَ
مَرَّٰتٖۚ مِّن قَبۡلِ صَلَوٰةِ ٱلۡفَجۡرِ وَحِينَ تَضَعُونَ ثِيَابَكُم مِّنَ
ٱلظَّهِيرَةِ وَمِنۢ بَعۡدِ صَلَوٰةِ ٱلۡعِشَآءِۚ ثَلَٰثُ عَوۡرَٰتٖ لَّكُمۡۚ
لَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ وَلَا عَلَيۡهِمۡ جُنَاحُۢ بَعۡدَهُنَّۚ طَوَّٰفُونَ عَلَيۡكُم
بَعۡضُكُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمُ ٱلۡأٓيَٰتِۗ
وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٞ ٥٨ وَإِذَا بَلَغَ ٱلۡأَطۡفَٰلُ مِنكُمُ ٱلۡحُلُمَ
فَلۡيَسۡتَٔۡذِنُواْ كَمَا ٱسۡتَٔۡذَنَ ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡۚ كَذَٰلِكَ
يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمۡ ءَايَٰتِهِۦۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٞ ٥٩
وَٱلۡقَوَٰعِدُ مِنَ ٱلنِّسَآءِ ٱلَّٰتِي لَا يَرۡجُونَ نِكَاحٗا فَلَيۡسَ
عَلَيۡهِنَّ جُنَاحٌ أَن يَضَعۡنَ ثِيَابَهُنَّ غَيۡرَ مُتَبَرِّجَٰتِۢ بِزِينَةٖۖ
وَأَن يَسۡتَعۡفِفۡنَ خَيۡرٞ لَّهُنَّۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٞ
Hai orang-orang yang beriman,
hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang
yang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu
hari) yaitu: sebelum sembahyang subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian
(luar)mu di tengah hari dan sesudah sembahyang Isya´. (Itulah) tiga aurat bagi
kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga
waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada
sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana- Dan apabila anak-anakmu telah sampai
umur balig, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang
sebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. Dan
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana - Dan perempuan-perempuan tua yang
telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi),
tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud)
menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan
Allah Maha Mendengar lagi Maha Bijaksana.
Dalam dua ayat tersebut di
atas, Allah S.W.T mengajarkan kepada
kaum muslimin tata krama yang mulia, di mana anak-anak yang mumayyiz
(yang sudah mengerti) tapi belum dewasa harus minta izin kalau mau bertemu
dengan keluarganya dalam waktu yang disebutkan tadi. Karena, pada waktu itu dia
berpeluang untuk melihat aurat, karena waktu-waktu itu merupakan waktu
istirahat, membuka pakaian, mengganti pakaian atau waktu suami istri memenuhi
kebutuhannnya. Allah membuat larangan-larangan dan batasan-batasan, sehingga
tidak mengotori pikiran anak-anak dan tidak menyibukkan mereka dengan
pikiran-pikiran ini sebelum waktunya. Seorang anak dalam usia ini sangat
cenderung untuk senang bertanya-tanya dan mengetahui apa-apa yang ada di
sekelilingnya yang masih tertutup. Adapun jika sang anak mencapai usia baligh, maka izin hendaknya
dilakukan pada setiap waktu.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
"Allah Ta'ala memerintahkan orang-orang beriman agar para pelayan mereka,
seperti budak dan anak-anak yang belum baligh, agar minta izin (kala memasuki
ruang khusus mereka) dalam tiga waktu; Pertama sebelum shalat Fajar, karena ketika
itu orang-orang sedang tidur di tempat tidur mereka. Kedua; Ketika kalian
melepas baju di siang hari, maksudnya waktu qailulah (tidur siang), karena pada
saat itu biasanya orang-orang melepaskan bajunya di tengah keluarganya. Ketiga;
Setelah shalat Isya, karena itu adalah waktu tidur. Maka para pelayan dan
anak-anak diperintahakn agar mereka tidak menerobos masuk rumah pada
waktu-waktu tersebut, karena dikhawatirkan akan memandang sesuatu yang tidak
baik pada seseorang di tengah keluarganya. Atau amalan semisal itu (Tafsir Ibnu
Katsir, 6/82).
Dalam
surat al mu’minun ayat 5-7 juga dijelaskan yang berbunyi :
وَالَّذِيْنَ
هُمْ لِفُرُوْجِهِمْ حفِظُوْنَ. اِلاَّعَلى ازْوَاجِهِمْ
اَوْمَامَلَكَتْ اَيْمَانُهُمْ فَاِنَّهُمْ غَيْرَمُلُوْمِيْنَ فَمَن ابْتَغى وَرَاءَ
ذلِكَ فَأُوْلئِكَ هُمُ اْلعَادُوْنَ.
Artinya
: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap
istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki: maka sesungguhnya mereka
dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa mencari yang di balik itu maka mereka
itulah orang-orang yang melampaui batas” (Q.S. Al Mu’minun : 5-7).
Dari
ayat Al-Qur’an di atas dapat dipahami bahwa Al-Qur’an membicarakan perihal dan
mengandung ajaran seksual dengan berbagai dimensinya. Ajaran ini perlu dipahami
oleh manusia, baik laki-laki maupun perempuan agar mereka mengetahui mana yang
diharamkan dan mana yang dihalalkan oleh syari’at Islam.
Hadis
Nabi yang dapat dijadikan dasar pendidikan seks pada anak, antara lain :
مرواأولادكم
بالصلاةوهم أبناءسبع سنين واضربوهم عليهاوهم أبناء عشرسنين وفرّقوابينهم فى المضاجع(رواه أبوداود)
Artinya
: “Perintahkanlah anak-anak kalian untuk melaksanakan shalat pada umur
tujuh tahun dan pukullah mereka ketika umur 10 tahun bila meninggalkan shalat.
Dan pisahkanlah tempat tidur mereka” (HR. Abu Daud).
Hadits
tersebut memerintahkan “pemisahan tempat tidur” pada point terakhir adalah
upaya untuk menanamkan kesadaran terhadap jenis kelamin. Inilah salah satu
dasar pendidikan seks pada anak yang telah Nabi SAW ajarkan. Di mana pada saat
anak mulai mengalami perubahan dirinya dari masa anak menuju alam pubertas, dia
akan berhadapan dengan dunia yang belum pernah dihadapi sebelumnya. Dunia yang
penuh dengan gejolak yang harus mendapatkan pengendalian yang lebih khusus.
Pengendalian yang hanya bisa ditangani dengan pola yang matang dan penuh
perhitungan yang cermat, tanpa menimbulkan efek samping yang membahayakan anak.
Diantaranya dengan memisahkan tempat tidurnya.
Dalam
pandangan Hasan El Qudsi bahwa Pendidikan seksual
bisa diberikan oleh orang tua pada masa usia dini, remaja dan dewasa dengan
materi yang berbeda-beda. Materi
pendidikan seksual pada anak usia
remaja adalah berkaitan dengan berbagai hukum dan norma-norma agama yang
meliputi; ajaran mandi besar, menutup aurat, hindarkan remaja dari khalwat dan
ikhtilat, kenalkan mahram dan non mahram, menahan pandangan yang haram, menjaga
anak dari penyelewengan seksual, dan pentingnya sakralitas pernikahan.
Muhammad
Nur Abdul Hafizh mengemukakan bahwa materi pendidikan seks adalah :
1.
Membiasakan anak menundukkan pandangan
mata dan menutup aurat.
2.
Membiasakan anak untuk meminta izin
ketika masuk ke kamar orang tua.
3.
Memisahkan tempat tidur anak dengan
saudaranya.
4.
Larangan tidur bertelungkup.
5.
Menjauhkan anak dari perbuatan zina
Sedangkan
menurut Akhmad Azhar Basir, bahwa
pendidikan seks adalah berisi pokok-pokok sebagai berikut :
1.
Menanamkan jiwa maskulinitas pada anak
laki-laki dan jiwa feminitas pada anak perempuan.
2.
Mengenalkan mahramnya.
3.
Mendidik anak selalu menjaga pandangan
mata.
4.
Mendidik agar tidak melakukan ikhtilat
5.
Mendidik agar tidak melakukan khalwat.
6.
Mendidik agar tidak melakukan jabat
tangan atau bersentuhan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya.
7.
Mendidik etika berhias.
8.
Memisahkan tempat tidur.
9.
Mengenalkan waktu-waktu berkunjung dan
tata tertibnya.
10. Mendidik agar menjaga kebersihan alat kelamin.
11. Khitan.
12. Haid”
Oleh
sebab itu, Akhmad Azhar Abu Miqdad menekankan “sebaiknya materi pendidikan seks
ditambah dengan materi keagamaan atau keimanan sebagai tuntunan hidup”. Karena
dengan iman ini, seks akan dapat dikuasai dan disalurkan dengan baik.
Abdullah Nasih Ulwan mengemukakan bahwa materi
pendidikan seks yang penting mendapat perhatian secara khusus dari para
pendidik, hendaklah dilakukan remaja berdasarkan fase-fase sebagai berikut:
1.
Fase
pertama, usia 7-10 tahun, disebut tamyiz (masa pra pubertas). Pada masa ini,
remaja diberi pelajaran tentang etika meminta izin dan memandang sesuatu.
2.
Fase
kedua, usia 10-14 tahun, disebut masa murahaqah (masa peralihan atau pubertas).
Pada masa ini remaja dihindarkan dari berbagai rangsangan seksual.
3.
Fase
ketiga, usia 14-16 tahun, disebut masa baligh (masa adolesen). Jika remaja
sudah siap untuk menikah, pada masa ini remaja diberi pendidikan tentang etika
(adab) mengadakan hubungan seksual.
4.
Fase
keempat, setelah masa adolesen, disebut masa pemuda. Pada masa ini diberi
pelajaran tentang tata cara melakukan istifaf (menjaga diri dari
perbuatan tercela), jika ia belum mampu melangsungkan pernikahan.
Dalam setiap jenjang pendidikan, hendaklah
diajarkan kepada mereka hukum-hukum yang sesuai dengan tingkat usianya. Sangat
tidak masuk akal, jika kepada remaja usia sepuluh tahunan
diajarkan tentang dasar-dasar hubungan seksual. Sementara hukum yang berlaku
pada masa pubertas dan masa baligh tidak diajarkan kepada mereka. Akan lebih
utama jika yang mengajarkan masalah-masalah seksual kepada putrinya adalah
seorang ibu, karena pelajaran yang diberikan oleh ibu kepada putrinya akan
lebih dapat diresapi. Jika ibu tidak ada, maka tugas ini hendaklah diambil alih
seorang pendidik wanita lain yang dapat menggantikan kedudukan sang ibu.
Menurut Muhammad Sa’id Mursi, pendidikan seks
dapat dimulai sejak dini, karena pendidikan seks tidak hanya mencakup pada
pertanyaan dan jawaban belaka. Contoh teladan, pembiasaan akhlak yang baik,
penghargaan terhadap anggota tubuh, menanamkan rasa malu bila aurat terlihat
orang lain ataupun malu melihat aurat orang lain dan lain sebaginya juga
termasuk pendidikan seks bagi anak-anak perlu ditanamkan dalam diri anak sejak
dini, misalnya.
1.
Memisahkan
tempat tidur antara anak perempuan dan laki-laki pada umur 10 tahun.
2.
Mengajarkan
mereka meminta izin ketika memasuki kamar orangtuanya. Terutama dalam tiga
waktu: sebelum shalat fajar, waktu Zhuhur dan setelah shalat Isya (QS. 24 : 58-59).
Namun ada juga sebagian ahli yang
mengklasifikasikan perkembangan anak dalam beberapa fase, yaitu:
1.
Fase
pertama :
Tamyiz (masa pra pubertas).
Fase ini ada pada usia antara 7–10 tahun. Pada tahap ini diajarkan mengenali
identitas diri berkaitan erat dengan organ biologis mereka serta perbedaan
antara laki-laki dan perempuan. Pada masa ini juga anak diberi pelajaran
tentang meminta izin dan memandang sesuatu ketika akan memasuki kamar
orangtuanya.
2.
Fase
kedua :
Murahaqah (pubertas), ada pada usia 10-14 tahun. Pada tahap umur ini, anak
harus diberikan penjelasan mengenai fungsi biologis secara ilmiah, batas aurat,
kesopanan, akhlak pergaulan laki-laki dan menjaga kesopanan serta harga diri.
Pada masa ini anak sebaiknya dijauhkan dari berbagai rangsangan seksual,
seperti bioskop, buku-buku porno, buku-buku yang memperlihatkan
perempuan-perempuan yang berpakaian mini dan sebagainya.
3.
Fase
ketiga :
Bulugh (Masa Adolesen), pada usia 14-16 tahun. Pada tahap ini adalah paling
kritis dan penting, karena naluri ingin tahu dalam diri anak semakin meningkat
ditambah dengan tahapan umur yang semakin menampakkan kematangan berfikir. Pada
masa ini juga anak sudah siap menikah (ditandai dengan mulai berfungsinya
alat-alat reproduksi), maka anak bisa diberi pelajaran tentang etika hubungan
seksual.
4.
Fase
keempat :
(masa pemuda), setelah masa andolesen, pada masa ini anak diberi pelajaran
tentang etika isti’faaf (menjaga diri) jika belum mampu melaksanakan
pernikahan.
5.
Fase
kelima :
(analisa).
D. Simpulan.
Keluarga merupakan
tempat lahir, tempat pendidikan, tempat perkembangan budi pekerti bagi anak dan
remaja, sekaligus menjadi lambang, tempat, dan tujuan hidup suami-isteri.
Karena itulah dapat ditegaskan
bahwa sendi masyarakat yang sehat dan kuat adalah keluarga yang kokoh dan sentosa. Di dalam keluarga ini pula
masing-masing anggotanya saling bertukar pengalaman yang disebut dengan social experience. Hal ini
memiliki pengaruh yang
sangat kuat terhadap
pembentukkan kepribadian yang bersangkutan dan termasuk dalam sebagian proses
pendidikan Islam.
Keluarga seharusnya dapat memberikan dan
mengarahkan anak agar memperoleh nilai-nilai pendidikan yang baik, misalnya
nilai kejujuran dan amanah. Namun kegagalan fungsi
keluarga dalam memainkan perannya sebagai tempat awal kehidupan remaja
merupakan faktor terjadinya perilaku seksual pranikah
dikalangan anak. Para orang tua telah gagal
dalam menanamkan pendidikan agama pada anak-anak mereka. Di zaman sekarang ini
banyak orang tua yan lebih mengutamakan mengejar ilmu umum atau hal-hal yang
bersifat materi dibandingkan dengan keagamaan. Orang tua kurang
memperhatikan perilaku anak-anak mereka, sehingga anak mereka bebas dan
seolah-olah tidak ada aturan tentang bagaimana seharusnya mereka berperilaku.
Hal ini walaupun sepele tetapi menunjukkan bahwa orang tua kurang disiplin
dalam menerapkan ilmu agama. Keluarga,
khususnya orang tua seharusnya menjadi pengontrol gerak langkah anak-anaknya,
melalui pendidikan agama yang mendalam serta menerapkannya dalam kehidupan
sehari-hari. Namun jika fungsi tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya, sebagai
anak yang merasa kurang diperhatikan dalam keluarganya sendiri, maka hal itu
dapat memicu terjadinya berbagai penyimpangan.
Peran orang tua
dalam mendidik anak sangat menentukan pembentukan karakter dan perkembangan
kepribadian anak. Selanjutnya hubungan komunikasi yang baik antara orang tua
dan anak akan menciptakan saling memahami terhadap masalah – masalah keluarga,
khususnya mengenai problematika anak, sehingga akan berpengaruh terhadap sikap
dan perilaku yang dibawa anak, sesuai
dengan nilai-nilai yang ditanamkan orang tua kepada anak. Lebih jauh lagi orang
tua harus menyediakan waktu yang cukup untuk berinteraksi dengan anak di rumah
dan berbicara apa saja mengenai kehidupan yang berhubungan dengan remaja dan
jangan menggurui atau mengatakan tidak, serta dapat menjadi teman yang baik
bagi remaja.
E. Daftar Pustaka
1.
Abdul Aziz El Quussy, Pokok-pokok
Kesehatan Jiwa/Mental, Jilid I, terjemahan Dr. Zakiyah Daradjat, Bulan
Bintang, Jakarta, 1984.
2.
Arief Rahman Hakim dan Drs. Fakhrudin- SMU Lab School Jakarta
3.
Bakir Yusuf Barmawi, Pembinaan
Kehidupan Beragama Islam pada Anak, Dina Utama, Semarang.
4.
Basyir,
Ahmad Azhar , Ajaran Islam tentang Pendidikan Seks, Hidup Berumah Tangga
Pendidikan Anak, Bandung : PT Al Warif, 1996
5.
Hasan
El Qudsi, Ketika anak bertanya tentang seks, Solo: Tinta Medina, 2012.
6.
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsiir, juz
3/285; lihat juga Imam Thabariy, Tafsir al-Thabariy, juz 18/120; Durr al-Mantsur, juz 6.
7.
Kamus
Besar Bahasa Indonesia. (2008). Edisi IV, Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud,
(Jakarta: Balai Pustaka).
8.
Kementerian
Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya, jilid 3, PT Sinergi Pustaka
Indonesia, Jakarta, 2012
9.
Muhammad Nur Abdul Hafizh, Mendidik
Anak Bersama Rasulullah, Al Bayan, Bandung, 1995.
10. Muhammad Sa’id Mursy, Abnaaunaa kaifa nabniihim wa nahmiihim 2005
11. Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologis Remaja, Grafindo
Persada, Jakarta, 1993.
12. Sarlito Wirawan Sarwono, Menuju Keluarga Bahagia,
Jilid 2, Bhratara Karya Aksara, Jakarta, 1982.
Ulwan ,Abdullah Nashih., Tarbiyatu Al-Aulad
Fi Al-Islam, Darussalam, Baerut, 1979
Tidak ada komentar:
Posting Komentar