Kamis, 22 September 2016

PENDIDIKAN SEKSUAL PADA ANAK
DALAM HUKUM ISLAM



Dr. H. Amirudin, Drs., M.Pd.I.
Dosen Fakultas Agama Islam Unsika Karawang
ABSTRAK
Pendidikan adalah salah satu bagian yang terpenting dalam kehidupan manusia, sehingga karakter seseorang sangat ditentukan oleh baik buruknya kualitas pendidikan yang didapatkan. Orang tua sebagai pihak pertama yang bertanggung jawab terhadap keselamatan putra dan putrinya, tentu menginginkan pendidikan yang bermutu untuk setiap buah hatinya. Oleh karena itu orang tua akan selau berupaya untuk memenuhi pendidikan anak, mulai dari menyekolahkan mereka ke sekolah-sekolah unggulan yang bertujuan agar anak berprestasi, bermutu dan mempunyai kepribadian yang baik.
Tanggungjawab orang tua tidak hanya mencakup pada kebutuhan materi saja, akan tetapi sesungguhnya mencakup kepada seluruh aspek kehidupan anaknya, termasuk di dalamnya menanamkan agar anak menjadi pribadi yang baik,  dan salah satunya adalah memberikan pendidikan seksual. Karena dengan memberikan  pendidikan seksual yang tepat, akan mengantarkan anak menjadi insan yang mampu menjaga dirinya dari perbuatan-perbuatan yang terlarang seperti  perbuatan zina. Pemberian pendidikan seksual inilah yang belum dilaksanakan orang tua, karena di anggap tabu, padahal dengan memberikan pengetahuan tentang seksual, maka  anak akan mengetahui fungsi organ seks, tanggungjawabnya, halal haram yang berkaitan dengan organ seks, dan dapat menghindari penyimpangan prilaku seksual sejak dini.

Kata Kunci : Keluarga, Pendidikan,  Seksual Anak, Hukum Islam

A.        Pendahuluan
Fenomena yang banyak terjadi akhir-akhir ini adalah banyaknya kasus tindakan kejahatan seks yang didominasi oleh kalangan dibawah umur. Banyak hal yang menyebabkan anak-anak di masa remaja melakukan penyimpangan seksualitas atau seks bebas sebagai cara pelarian dari berbagai persoalan serta kurangnya kemampuan anak untuk mengendalikan diri dari emosinya.
Seiring dengan perkembangan  zaman, pendidikan yang didapatkan oleh seorang anak dari lembaga formal dirasakan masih kurang, apalagi berkaitan dengan seksual. Akses informasi seks yang sangat mudah dari berbagai media akan mempercepat hancurnya generasi penerus bangsa.  Informasi tersebut dapat diperoleh dengan sangat mudah baik lewat internet, HP, buku komik dewasa dan anak, televisi (sinetron, film), CD, play station, serta media lainnya,  menyerbu anak-anak yang dikemas sedemikian rupa sehingga perbuatan seks dianggap lumrah dan menyenangkan. Jalan satu-satunya menyikapi fenomena ini adalah kita harus membentengi anak-anak kita dengan nilai-nilai seksualitas yang benar, yang dilandasi dengan agama. Dewasa ini masalah seks pranikah pada remaja banyak menjadi sorotan dikarenakan angkanya yang semakin hari semakin meningkat. Banyak kasus-kasus aborsi yang dilakukan oleh remaja. Umumnya remaja melakukan hubungan seks karena didasari rasa suka sama suka. Salah satu penyebab terjadinya hubungan seks di luar nikah pada remaja adalah kurangnya pengetahuan remaja mengenai seks itu sendiri.
Pada masa anak-anak sampai dewasa disebut dengan masa transisi, dan masa ini berlangsung pertumbuhan dan perkembangan yang kompleks baik dari segi fisik maupun psikis. Salah satu perkembangan yang terjadi pada masa ini íalah perkembangan seksual yang berada dalam potensial seksual aktif. Hal ini terjadi seiring dengan berfungsinya organ reproduksi.
Perkembangan seksual yang terjadi pada remaja seharusnya dibarengi dengan pemenuhan pendidikan seksual yang baik oleh keluarga, dalam hal ini, orang tua baik di rumah atau melalui lembaga formal yaitu sekolah, agar remaja  tidak bingung serta dapat memahami pekembangan yang terjadi di dalam dirinya serta bagaimana menyikapinya. Namun pendidikan seks masíh menjadi polemik saat ini, karena sebagian orang masih menganggap penting atau tidaknya pendidikan seks diberikan. Kenyataannya masíh banyak orang tua yang menganggap tabu ketika memberikan pendidikan seks pada anaknya. Di sisi lain, sekolah belum bisa berperan secara optimal dalam memberikan pemahaman tentang pendidikan seks pada anak karena belum masuk di dalam kurikulum.
Tingkat sosial ekonomi maupun tingkat pendidikan yang heterogen di indonesia menyebabkan ada orang tua yang mau dan mampu memberikan pengetahuan tentang seks, tetapi lebih banyak yang tidak mampu dan tidak memahami masalah tersebut. Hal yang paling mencolok ádalah kurangnya pengetahuan orang tua tentang seks, apalagi yang berada di daerah-daerah terpencil. Untuk itulah Sangat dibutuhkan pengetahuan orang tua, mengingat orang tua ádalah guru pertama bagi anak. Dengan demikian orang tua, sangat perlu untuk mengetahui apa itu pendidikan seks? Seberapa penting pendidikan seks bagi pendidikan anak-anaknya? Bagaimana Islam mengajarkan tentang pendidikan seks buat umatnya? Apa tujuan pendidikan seks dalam islam? Adakah tahapan umur dalam menyampaikan pendidikan seks pada anak?
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka orang tua perlu memberikan pengertian dan pemahaman yang terarah mengenai pendidikan seks. Karena jika tidak demikian, anak akan merasa kurang diperhatikan dan kurang informasi mengenai seks yang seharusnya ia dapatkan. Akibatnya, anak cenderung akan mencari informasi di luar lepas dari kendali orang tua. Selain peranan orang tua, dalam hal ini lembaga atau instansi yang berwenang dalam mendidik anak didiknya juga harus lebih menanamkan pentingnya tujuan dalam penerapan pendidikan seks sesuai dengan tahapan perkembangan usia. Sasaran utama penanaman pendidikan seks ini diarahkan kepada anak-anak maupun remaja sesuai dengan perkembangan usia dan manfaatnya untuk menambah pengetahuan anak dalam mengalami perubahan-perubahan dari perilaku yang menyimpang yang terjadi pada anak saat ini.

B. Peran Keluarga dalam Pendidikan Seksual
Keluarga adalah salah satu kelompok atau kumpulan manusia yang hidup bersama sebagai satu kesatuan atau unit masyarakat terkecil dan biasanya selalu ada hubungan darah, ikatan perkawinan atau ikatan lainnya, tinggal bersama dalam satu rumah yang dipimpin oleh seorang kepala keluarga dan makan dalam satu periuk.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat, yang disusun oleh Pusat Bahasa, Kementerian Pendidikan Nasional bahagia berarti (1) keadaan atau perasaan senang dan tenteram (bebas dari segala yang menyusahkan), contohnya: “bahagia dunia akhirat”, “hidup penuh bahagia”; (2) beruntung; berbahagia, contohnya: Saya betul-betul merasa bahagia karena dapat berada kembali di tengah-tengah keluarga.
Selanjutnya Bakir Yusuf Barmawi mengatakan : Keluarga merupakan satu kesatuan (unit) yang terkecil dari masyarakat. Ia merupakan batu sendi, tempat membangun hidup bermasyarakat dan bernegara. Mutu suatu masyarakat (umat) ditentukan oleh mutu dari kesatuan primer ini.
Sarlito Wirawan Sarwono dalam buku Menuju Keluarga Bahagia membagi makna umum keluarga ke dalam dua pengertian. Pertama, keluarga sebagai ikatan kekerabatan antar individu. Keluarga dalam pengertian ini merujuk kepada individu-individu yang memiliki hubungan darah melalui pernikahan. Kedua, keluarga adalah sinonim dari rumah tangga. Dalam pemaknaan demikian ikatan kekerabatan tetap tidak diabaikan. Hanya saja yang ditekankan adalah adanya kesatuan hunian yang bersifat ekonomis. Faktor-faktor lain dalam mengartikan keluarga adalah batas-batas yang menentukan siapa saja yang termasuk dalam anggota keluarga, dan siapa yang bukan. Karena itu, semakin erat pertalian keluarga berdasarkan hubungan darah, kian besar kemungkinan seseorang dianggap sebagai anggota keluarga meskipun sebenarnya hubungan darah bukanlah satu-satunya faktor kategoris.
Sedangkan pengertian pendidikan seksual secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi dua. Pendapat pertama menganggap bahwa pendidikan seks sama dengan penerangan tentang anatomi fisiologi seks manusia, tentang bahaya-bahaya penyakit kelamin dan sebagainya. Pendapat kedua mengatakan bahwa pendidikan seks sama dengan sex pay, hanya perlu diberikan kepada orang dewasa. Abdullah Nashih Ulwan mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan seks adalah : “Masalah mengajarkan, memberi pengertian, dan menjelaskan masalah-masalah yang menyangkut seks, naluri dan perkawinan kepada anak sejak akalnya mulai tumbuh dan siap memahami hal-hal di atas”.
Abdul Aziz El Quussy mengemukakan bahwa pendidikan seks ialah “pemberian pengalaman yang benar kepada anak, agar dapat membantunya dalam menyesuaikan diri di bidang seks dalam kehidupannya di masa depan”.
Dan menurut DR. Sarlito Wirawan Sarwono, pendidikan seks adalah : “Pendidikan seks bukanlah penerangan tentang seks semata-mata. Pendidikan seks sebagaimana pendidikan lain pada umumnya (Pendidikan Agama atau Pendidikan Moral Pancasila misalnya) mengandung pengalihan nilai-nilai dari pendidik ke subjek didik. Dengan demikian informasi tentang seks tidak diberikan secara “telanjang”, yaitu dalam kaitannya dengan norma yang berlaku dalam masyarakat, apa yang lazim dan bagaimana cara melakukannya tanpa melanggar aturan”.
Selanjutnya Sarlito dalam bukunya Psikologi Remaja (1994), secara umum pendidikan seksual adalah suatu informasi mengenai persoalan seksualitas manusia yang jelas dan benar, yang meliputi proses terjadinya pembuahan, kehamilan sampai kelahiran, tingkah laku seksual, hubungan seksual, dan aspek-aspek kesehatan, kejiwaan dan kemasyarakatan. Masalah pendidikan seksual yang diberikan sepatutnya berkaitan dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat, apa yang dilarang, apa yang dilazimkan dan bagaimana melakukannya tanpa melanggar aturan-aturan yang berlaku di masyarakat. Pendidikan seksual merupakan cara pengajaran atau pendidikan yang dapat menolong muda-mudi untuk menghadapi masalah hidup yang bersumber pada dorongan seksual. Dengan demikian pendidikan seksual ini bermaksud untuk menerangkan segala hal yang berhubungan dengan seks dan seksualitas dalam bentuk yang wajar. 
DR. Arief Rahman Hakim dan Drs. Fakhrudin-SMU Lab School Jakarta berpendapat bahwa pendidikan seks adalah perlakuan sadar dan sistematis di sekolah, keluarga dan masyarakat untuk menyampaikan proses perkelaminan menurut agama dan yang sudah diterapkan oleh masyarakat. Intinya pendidikan seks tidak boleh bertentangan dengan ajaran agama. Muhammad Sa’id Mursi bahwa pendidikan seks menurut Islam adalah upaya pengajaran dan penerapan tentang masalah-masalah seksual yang diberikan pada anak, dalam usaha menjaga anak dari kebiasaan yang tidak Islami serta menutup segala kemungkinan kearah hubungan seksual terlarang (zina).
Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan seks adalah membimbing serta mengasuh seorang anak agar mengerti tinggi arti, fungsi dan tujuan seks, sehingga ia dapat menyalurkan ke jalan yang legal. Pendidikan seks yang disuguhkan kepada anak, bukanlah penerangan tentang seks semata-mata, tetapi dikaitkan dengan nilai-nilai yang sesuai dengan syari’at Islam. Sehingga mampu mengarahkan diri anak untuk lebih dekat dan mencintai Allah SWT
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka peran keluarga dalam memberikan bimbingan dan penerangan seks kepada anak merupakan suatu yang sangat penting dan perlu, sebab dengan adanya pendidikan seks dalam keluarga, seorang anak akan terhindar dari ekses-ekses negatif dalam kehidupan seksualnya. Upaya pendidikan seks dalam keluarga yang paling efektif adalah dengan menciptakan situasi yang kondusif, orang tua tidak perlu sungkan berdialog dengan anaknya mengenai berbagai masalah seks sepanjang Islam masih membahasnya dan disesuaikan dengan kebutuhan dan tahap perkembangan anak.
Para ahli berpendapat bahwa pendidik yang terbaik adalah orang tua dari anak itu sendiri. Oleh karena itu dalam membicarakan masalah seksual yang sifatnya sangat pribadi dibutuhkan suasana yang akrab, terbuka dari hati ke hati antara orang tua dan anak. Hal ini akan lebih mudah diciptakan antara ibu dengan anak perempuannya atau bapak dengan anak laki-lakinya, sekalipun tidak menutup kemungkinan dapat dilakukan antara ibu dengan anak laki-lakinya atau bapak dengan anak perempuannya.
Dalam memberikan pendidikan seks pada anak jangan ditunggu sampai anak bertanya mengenai seks. Sebaiknya pendidikan seks diberikan dengan terencana, sesuai dengan keadaan dan kebutuhan anak dan lebih baik pula pada saat anak menjelang remaja dimana proses kematangan baik fisik, maupun mentalnya mulai timbul dan berkembang kearah kedewasaan. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, ada beberapa faktor penghambat yang dihadapi oleh orang tua yaitu : pengetahuan, kesadaran, ekonomi serta tingkat pendidikan orang tua yang rata-rata menengah.  Dewasa ini, orang tua belum mampu secara maksimal memberikan pendidikan seks yang layak dan benar kepada anak-anak mereka,  disebabkan oleh beratnya beban hidup yang harus dipikul oleh orang tua dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Sehingga mereka mempunyai keterbatasan waktu dengan anak-anak mereka di rumah, selain itu mereka pun tidak mengerti kapan dan di mana pendidikan seks mulai diberikan serta bagaimana cara menyampaikannya.
Selain faktor di atas, masih adanya anggapan bahwa mengajak anak  membicarakan seks akan menghilangkan kewibawaan dan membingungkan orang tua, yang malu mengungkapkan persoalan-persoalan seksual. Sehingga banyak remaja yang senang membahas masalah seks dengan teman-temannya ketimbang dengan orang tua, karena hal ini dianggap sebagai hal yang tabu.  
Ada beberapa alasan kenapa orang tua merasa tidak nyaman membahas masalah pendidikan seks yaitu :
1.      Kurangnya pengetahuan untuk menjawab pertanyaan mengenai seksual maupun reproduksi.
2.      Tidak efektifnya komunikasi anak dan orang tua.
3.      Tidak terciptanya suasana keterbukaan, kenyamanan antara anak dan orang tua.
Dalam menyampaikan pendidikan seks pada anak diperlukan teknik penyampaian yang sangat hati-hati. Oleh karena itu penyajian pendidikan seks memerlukan metode yang tepat, agar terarah dan mencapai sasaran yang sebenarnya, serta tidak mengarah pada hal-hal yang negatif. Untuk itu akan dikemukakan beberapa metode pendidikan seks.
Dan menurut Dr. Abdullah Nashih Ulwan, metode pendidikan seks adalah : “(a) Penyadaran (b) Peringatan (c) Ikatan”.
1.      Penyadaran yaitu upaya penerangan terhadap anak tentang beberapa hal yang membahayakan umat Islam khususnya dan umat manusia pada umumnya. Karenanya sejak dini para pendidik hendaknya berperan aktif memberikan kesadaran kepada putra-putri mereka agar seorang anak memahami, tanggap dan sadar benar akan larangan mengumbar syahwat, berbuat merusak dan hal-hal yang menimbulkan rangsangan.
2.      Peringatan yaitu dengan memberikan gambaran (peringatan) bahaya yang akan muncul akibat liarnya hawa nafsu dan pelecehan terhadap nilai-nilai yang berlaku. Ia akan tumbuh di atas bentang yang kuat, akan mencegah dan menahan diri dari perbuatan keji yang diharamkan, akan mengikuti jalan Islam dalam akhlaknya dan tidak akan berpikir ingin memenuhi nalursi seks kecuali melalui jalan yang dihalalkan oleh syari’at Islam.
3.      Metode ikatan yaitu orang tua memberikan ikatan pada anak terhadap keyakinan rohani, pemikiran, sosial dan aktivitas lainnya yang bermanfaat. Ikatan inilah yang akan membawa anak pada kondisi konstan dan kontinyu dalam menempuh kehidupan yang panjang ini. Apabila anak merasa terikat dengan ikatan aqidah, pemikiran, sosial, maka ia akan terdidik atas dasar taqwa bahkan akan memiliki benteng aqidah Ketuhanan yang akan menang melawan hawa nafsu, dan akan berjalan lurus di atas kebenaran dan petunjuk.



C. Pendidikan Seksual Anak dalam Hukum Islam.
Perlunya pendidikan seks secara Islami dimaksudkan agar anak dapat mengerti tentang seks yang benar dan sesuai dengan landasan atau dasar agama. Tanpa ada landasan agama yang kuat, generasi anak bangsa akan hancur terjerembab ke dalam kehinaan. Padahal Islam sangat memperhatikan penyaluran hasrat seksual sesuai aturan dan etika yang benar. Karena itu, Islam melalui syari'atnya mengajarkan pernikahan sebagai pintu yang menyucikan hubungan seksual. Islam juga mengingatkan para remaja agar menjauhi khalwat (berduaan dengan wanita atau laki-laki bukan muhrimnya).
Allah menata gerakan dan kecendrungan-kecendrungan jiwa manusia dalam fase-fase pertumbuhan emosional, social, bahasa, moral, dan gerak. Begitu juga Allah menentukan langkah-langkah detail untuk mengendalikan kecendrungan seksual pada setiap individu. Mengingat betapa penting kecendrungan naluriah yang satu ini dalam perilaku kemanusiaan, maka pembuat syariat menetapkan aturan yang begitu ketat. Tidak disangsikan lagi bahwa Islam tidak sekedar menganjurkan perbaikan prilaku seksual pada dunia anak-anak, melainkan juga dalam kehidupan orang dewasa. Sebab jika seorang pendidik muslim berhasil dalam menata kegiatan seksual pada orang dewasa (orang tua), hal itu akan berpengaruh terhadap pendidikan seksual pada anak, di mana orang tua khususnya mengajarkan pada anak sikap-sikap seksual yang aman atau sehat.
Dalam hal ini, Islam mendeskripsikan bahwa pendidikan seks bagi anak yang mendasar adalah perbaikan-perbaikan sikap bagi orang tua dalam melakukan hubungan seks, dengan kata lain Islam menganjurkan bagi orang tua untuk selalu memperhatikan sekitarnya ketika hendak melakukan hubungan badan. Hal ini dapat dilihat dari hadits nabi yang artinya “ Demi Tuhan yang diriku ada dalam genggaman-Nya, jika seorang suami menggauli istrinya, sementara di rumah itu ada seorang anak kecil yang terbangun sehingga melihat mereka, serta mendengar ucapan dan hembusan nafas mereka, ia tidak akan mendapatkan keuntungan, jika anak itu baik laki-laki maupun perempuan melainkan menjadi pezina.”
Pendidikan seksual termasuk bagian pendidikan akhlak. Sedang pendidikan akhlak adalah cabang dari pendidikan Islam. Terlebih kalau ditarik dalam dataran tujuan menurut Al-Qur’an, maka tujuan pendidikan seks adalah untuk menjaga dan memelihara agar seseorang tidak terjerumus dalam lembah kenistaan, yaitu penyimpangan seks dalam berbagai bentuk. Pendidikan seksual dalam Islam sebagaimana dijelaskan dalam Firman Allah surat An Nur ayat 58-60 yang berbunyi :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لِيَسۡتَ‍ٔۡذِنكُمُ ٱلَّذِينَ مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡ وَٱلَّذِينَ لَمۡ يَبۡلُغُواْ ٱلۡحُلُمَ مِنكُمۡ ثَلَٰثَ مَرَّٰتٖۚ مِّن قَبۡلِ صَلَوٰةِ ٱلۡفَجۡرِ وَحِينَ تَضَعُونَ ثِيَابَكُم مِّنَ ٱلظَّهِيرَةِ وَمِنۢ بَعۡدِ صَلَوٰةِ ٱلۡعِشَآءِۚ ثَلَٰثُ عَوۡرَٰتٖ لَّكُمۡۚ لَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ وَلَا عَلَيۡهِمۡ جُنَاحُۢ بَعۡدَهُنَّۚ طَوَّٰفُونَ عَلَيۡكُم بَعۡضُكُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمُ ٱلۡأٓيَٰتِۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٞ ٥٨ وَإِذَا بَلَغَ ٱلۡأَطۡفَٰلُ مِنكُمُ ٱلۡحُلُمَ فَلۡيَسۡتَ‍ٔۡذِنُواْ كَمَا ٱسۡتَ‍ٔۡذَنَ ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمۡ ءَايَٰتِهِۦۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٞ ٥٩ وَٱلۡقَوَٰعِدُ مِنَ ٱلنِّسَآءِ ٱلَّٰتِي لَا يَرۡجُونَ نِكَاحٗا فَلَيۡسَ عَلَيۡهِنَّ جُنَاحٌ أَن يَضَعۡنَ ثِيَابَهُنَّ غَيۡرَ مُتَبَرِّجَٰتِۢ بِزِينَةٖۖ وَأَن يَسۡتَعۡفِفۡنَ خَيۡرٞ لَّهُنَّۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٞ
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum sembahyang subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari dan sesudah sembahyang Isya´. (Itulah) tiga aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana- Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur balig, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana - Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Bijaksana.
Dalam dua ayat tersebut di atas,  Allah S.W.T mengajarkan kepada kaum muslimin tata krama yang mulia, di mana anak-anak yang mumayyiz (yang sudah mengerti) tapi belum dewasa harus minta izin kalau mau bertemu dengan keluarganya dalam waktu yang disebutkan tadi. Karena, pada waktu itu dia berpeluang untuk melihat aurat, karena waktu-waktu itu merupakan waktu istirahat, membuka pakaian, mengganti pakaian atau waktu suami istri memenuhi kebutuhannnya. Allah membuat larangan-larangan dan batasan-batasan, sehingga tidak mengotori pikiran anak-anak dan tidak menyibukkan mereka dengan pikiran-pikiran ini sebelum waktunya. Seorang anak dalam usia ini sangat cenderung untuk senang bertanya-tanya dan mengetahui apa-apa yang ada di sekelilingnya yang masih tertutup. Adapun jika sang anak mencapai usia baligh, maka izin hendaknya dilakukan pada setiap waktu.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, "Allah Ta'ala memerintahkan orang-orang beriman agar para pelayan mereka, seperti budak dan anak-anak yang belum baligh, agar minta izin (kala memasuki ruang khusus mereka) dalam tiga waktu; Pertama sebelum shalat Fajar, karena ketika itu orang-orang sedang tidur di tempat tidur mereka. Kedua; Ketika kalian melepas baju di siang hari, maksudnya waktu qailulah (tidur siang), karena pada saat itu biasanya orang-orang melepaskan bajunya di tengah keluarganya. Ketiga; Setelah shalat Isya, karena itu adalah waktu tidur. Maka para pelayan dan anak-anak diperintahakn agar mereka tidak menerobos masuk rumah pada waktu-waktu tersebut, karena dikhawatirkan akan memandang sesuatu yang tidak baik pada seseorang di tengah keluarganya. Atau amalan semisal itu (Tafsir Ibnu Katsir, 6/82).
Dalam surat al mu’minun ayat 5-7 juga dijelaskan yang berbunyi :
وَالَّذِيْنَ هُمْ لِفُرُوْجِهِمْ حفِظُوْنَ. اِلاَّعَلى ازْوَاجِهِمْ اَوْمَامَلَكَتْ اَيْمَانُهُمْ فَاِنَّهُمْ غَيْرَمُلُوْمِيْنَ فَمَن ابْتَغى وَرَاءَ ذلِكَ فَأُوْلئِكَ هُمُ اْلعَادُوْنَ.
Artinya  :   “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki: maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas” (Q.S. Al Mu’minun : 5-7).
Dari ayat Al-Qur’an di atas dapat dipahami bahwa Al-Qur’an membicarakan perihal dan mengandung ajaran seksual dengan berbagai dimensinya. Ajaran ini perlu dipahami oleh manusia, baik laki-laki maupun perempuan agar mereka mengetahui mana yang diharamkan dan mana yang dihalalkan oleh syari’at Islam.
Hadis Nabi yang dapat dijadikan dasar pendidikan seks pada anak, antara lain :
مرواأولادكم بالصلاةوهم أبناءسبع سنين واضربوهم عليهاوهم أبناء عشرسنين وفرّقوابينهم فى المضاجع(رواه أبوداود)  
Artinya  :   “Perintahkanlah anak-anak kalian untuk melaksanakan shalat pada umur tujuh tahun dan pukullah mereka ketika umur 10 tahun bila meninggalkan shalat. Dan pisahkanlah tempat tidur mereka” (HR. Abu Daud).
Hadits tersebut memerintahkan “pemisahan tempat tidur” pada point terakhir adalah upaya untuk menanamkan kesadaran terhadap jenis kelamin. Inilah salah satu dasar pendidikan seks pada anak yang telah Nabi SAW ajarkan. Di mana pada saat anak mulai mengalami perubahan dirinya dari masa anak menuju alam pubertas, dia akan berhadapan dengan dunia yang belum pernah dihadapi sebelumnya. Dunia yang penuh dengan gejolak yang harus mendapatkan pengendalian yang lebih khusus. Pengendalian yang hanya bisa ditangani dengan pola yang matang dan penuh perhitungan yang cermat, tanpa menimbulkan efek samping yang membahayakan anak. Diantaranya dengan memisahkan tempat tidurnya.
Dalam pandangan Hasan El Qudsi bahwa Pendidikan seksual bisa diberikan oleh orang tua pada masa usia dini, remaja dan dewasa dengan materi yang berbeda-beda. Materi  pendidikan seksual pada anak usia remaja adalah berkaitan dengan berbagai hukum dan norma-norma agama yang meliputi; ajaran mandi besar, menutup aurat, hindarkan remaja dari khalwat dan ikhtilat, kenalkan mahram dan non mahram, menahan pandangan yang haram, menjaga anak dari penyelewengan seksual, dan pentingnya sakralitas pernikahan.
Muhammad Nur Abdul Hafizh mengemukakan bahwa materi pendidikan seks adalah :
1.   Membiasakan anak menundukkan pandangan mata dan menutup aurat.
2.   Membiasakan anak untuk meminta izin ketika masuk ke kamar orang tua.
3.   Memisahkan tempat tidur anak dengan saudaranya.
4.   Larangan tidur bertelungkup.
5.   Menjauhkan anak dari perbuatan zina
Sedangkan menurut Akhmad Azhar Basir, bahwa pendidikan seks adalah berisi pokok-pokok sebagai berikut :
1.      Menanamkan jiwa maskulinitas pada anak laki-laki dan jiwa feminitas pada anak perempuan.
2.      Mengenalkan mahramnya.
3.      Mendidik anak selalu menjaga pandangan mata.
4.      Mendidik agar tidak melakukan ikhtilat
5.      Mendidik agar tidak melakukan khalwat.
6.      Mendidik agar tidak melakukan jabat tangan atau bersentuhan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya.
7.      Mendidik etika berhias.
8.      Memisahkan tempat tidur.
9.      Mengenalkan waktu-waktu berkunjung dan tata tertibnya.
10.  Mendidik agar menjaga kebersihan alat kelamin.
11.  Khitan.
12.  Haid”
Oleh sebab itu, Akhmad Azhar Abu Miqdad menekankan “sebaiknya materi pendidikan seks ditambah dengan materi keagamaan atau keimanan sebagai tuntunan hidup”. Karena dengan iman ini, seks akan dapat dikuasai dan disalurkan dengan baik.
Abdullah Nasih Ulwan mengemukakan bahwa materi pendidikan seks yang penting mendapat perhatian secara khusus dari para pendidik, hendaklah dilakukan remaja berdasarkan fase-fase sebagai berikut:
1.      Fase pertama, usia 7-10 tahun, disebut tamyiz (masa pra pubertas). Pada masa ini, remaja diberi pelajaran tentang etika meminta izin dan memandang sesuatu.
2.      Fase kedua, usia 10-14 tahun, disebut masa murahaqah (masa peralihan atau pubertas). Pada masa ini remaja dihindarkan dari berbagai rangsangan seksual.
3.      Fase ketiga, usia 14-16 tahun, disebut masa baligh (masa adolesen). Jika remaja sudah siap untuk menikah, pada masa ini remaja diberi pendidikan tentang etika (adab) mengadakan hubungan seksual.
4.      Fase keempat, setelah masa adolesen, disebut masa pemuda. Pada masa ini diberi pelajaran tentang tata cara melakukan istifaf (menjaga diri dari perbuatan tercela), jika ia belum mampu melangsungkan pernikahan.
Dalam setiap jenjang pendidikan, hendaklah diajarkan kepada mereka hukum-hukum yang sesuai dengan tingkat usianya. Sangat tidak masuk akal, jika kepada remaja usia sepuluh tahunan diajarkan tentang dasar-dasar hubungan seksual. Sementara hukum yang berlaku pada masa pubertas dan masa baligh tidak diajarkan kepada mereka. Akan lebih utama jika yang mengajarkan masalah-masalah seksual kepada putrinya adalah seorang ibu, karena pelajaran yang diberikan oleh ibu kepada putrinya akan lebih dapat diresapi. Jika ibu tidak ada, maka tugas ini hendaklah diambil alih seorang pendidik wanita lain yang dapat menggantikan kedudukan sang ibu.
Menurut Muhammad Sa’id Mursi, pendidikan seks dapat dimulai sejak dini, karena pendidikan seks tidak hanya mencakup pada pertanyaan dan jawaban belaka. Contoh teladan, pembiasaan akhlak yang baik, penghargaan terhadap anggota tubuh, menanamkan rasa malu bila aurat terlihat orang lain ataupun malu melihat aurat orang lain dan lain sebaginya juga termasuk pendidikan seks bagi anak-anak perlu ditanamkan dalam diri anak sejak dini, misalnya.
1.      Memisahkan tempat tidur antara anak perempuan dan laki-laki pada umur 10 tahun.
2.      Mengajarkan mereka meminta izin ketika memasuki kamar orangtuanya. Terutama dalam tiga waktu: sebelum shalat fajar, waktu Zhuhur dan setelah shalat Isya (QS. 24 : 58-59).
Namun ada juga sebagian ahli yang mengklasifikasikan perkembangan anak dalam beberapa fase, yaitu:
1.      Fase pertama : Tamyiz (masa pra pubertas). Fase ini ada pada usia antara 7–10 tahun. Pada tahap ini diajarkan mengenali identitas diri berkaitan erat dengan organ biologis mereka serta perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Pada masa ini juga anak diberi pelajaran tentang meminta izin dan memandang sesuatu ketika akan memasuki kamar orangtuanya.
2.      Fase kedua : Murahaqah (pubertas), ada pada usia 10-14 tahun. Pada tahap umur ini, anak harus diberikan penjelasan mengenai fungsi biologis secara ilmiah, batas aurat, kesopanan, akhlak pergaulan laki-laki dan menjaga kesopanan serta harga diri. Pada masa ini anak sebaiknya dijauhkan dari berbagai rangsangan seksual, seperti bioskop, buku-buku porno, buku-buku yang memperlihatkan perempuan-perempuan yang berpakaian mini dan sebagainya.
3.      Fase ketiga : Bulugh (Masa Adolesen), pada usia 14-16 tahun. Pada tahap ini adalah paling kritis dan penting, karena naluri ingin tahu dalam diri anak semakin meningkat ditambah dengan tahapan umur yang semakin menampakkan kematangan berfikir. Pada masa ini juga anak sudah siap menikah (ditandai dengan mulai berfungsinya alat-alat reproduksi), maka anak bisa diberi pelajaran tentang etika hubungan seksual.
4.      Fase keempat : (masa pemuda), setelah masa andolesen, pada masa ini anak diberi pelajaran tentang etika isti’faaf (menjaga diri) jika belum mampu melaksanakan pernikahan.
5.      Fase kelima : (analisa).

D.  Simpulan.
Keluarga merupakan tempat lahir, tempat pendidikan, tempat perkembangan budi pekerti bagi anak dan remaja, sekaligus menjadi lambang, tempat, dan tujuan hidup suami-isteri. Karena itulah dapat ditegaskan bahwa sendi masyarakat yang sehat dan kuat adalah keluarga  yang kokoh dan sentosa. Di dalam keluarga ini pula masing-masing anggotanya saling bertukar pengalaman yang disebut dengan social experience. Hal  ini   memiliki  pengaruh   yang   sangat   kuat   terhadap   pembentukkan kepribadian yang bersangkutan dan termasuk dalam sebagian proses pendidikan Islam.
Keluarga seharusnya dapat memberikan dan mengarahkan anak agar memperoleh nilai-nilai pendidikan yang baik, misalnya nilai kejujuran dan amanah. Namun kegagalan fungsi keluarga dalam memainkan perannya sebagai tempat awal kehidupan remaja merupakan faktor terjadinya perilaku seksual pranikah dikalangan anak.  Para orang tua telah gagal dalam menanamkan pendidikan agama pada anak-anak mereka. Di zaman sekarang ini banyak orang tua yan lebih mengutamakan mengejar ilmu umum atau hal-hal yang bersifat materi dibandingkan dengan keagamaan. Orang tua kurang memperhatikan perilaku anak-anak mereka, sehingga anak mereka bebas dan seolah-olah tidak ada aturan tentang bagaimana seharusnya mereka berperilaku. Hal ini walaupun sepele tetapi menunjukkan bahwa orang tua kurang disiplin dalam menerapkan ilmu agama.  Keluarga, khususnya orang tua seharusnya menjadi pengontrol gerak langkah anak-anaknya, melalui pendidikan agama yang mendalam serta menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Namun jika fungsi tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya, sebagai anak yang merasa kurang diperhatikan dalam keluarganya sendiri, maka hal itu dapat memicu terjadinya berbagai penyimpangan. 
Peran orang tua dalam mendidik anak sangat menentukan pembentukan karakter dan perkembangan kepribadian anak. Selanjutnya hubungan komunikasi yang baik antara orang tua dan anak akan menciptakan saling memahami terhadap masalah – masalah keluarga, khususnya mengenai problematika anak, sehingga akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku  yang dibawa anak, sesuai dengan nilai-nilai yang ditanamkan orang tua kepada anak. Lebih jauh lagi orang tua harus menyediakan waktu yang cukup untuk berinteraksi dengan anak di rumah dan berbicara apa saja mengenai kehidupan yang berhubungan dengan remaja dan jangan menggurui atau mengatakan tidak, serta dapat menjadi teman yang baik bagi remaja.




E. Daftar Pustaka

1.      Abdul Aziz El Quussy, Pokok-pokok Kesehatan Jiwa/Mental, Jilid I, terjemahan Dr. Zakiyah Daradjat, Bulan Bintang, Jakarta, 1984.
2.      Arief Rahman Hakim dan Drs. Fakhrudin- SMU Lab School Jakarta
3.      Bakir Yusuf Barmawi, Pembinaan Kehidupan Beragama Islam pada Anak, Dina Utama, Semarang.
4.      Basyir, Ahmad Azhar , Ajaran Islam tentang Pendidikan Seks, Hidup Berumah Tangga Pendidikan Anak, Bandung : PT Al Warif, 1996
5.      Hasan El Qudsi, Ketika anak bertanya tentang seks, Solo: Tinta Medina, 2012.
6.      Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsiir, juz 3/285; lihat juga Imam Thabariy, Tafsir al-Thabariy, juz 18/120; Durr al-Mantsur, juz 6.
7.      Kamus Besar Bahasa Indonesia. (2008). Edisi IV, Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, (Jakarta: Balai Pustaka).
8.      Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya, jilid 3, PT Sinergi Pustaka Indonesia, Jakarta, 2012
9.      Muhammad Nur Abdul Hafizh, Mendidik Anak Bersama Rasulullah, Al Bayan, Bandung, 1995.
10.  Muhammad Sa’id Mursy,  Abnaaunaa kaifa nabniihim wa nahmiihim 2005
11.  Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologis Remaja, Grafindo Persada, Jakarta, 1993.
12.  Sarlito Wirawan Sarwono, Menuju Keluarga Bahagia, Jilid 2, Bhratara Karya Aksara, Jakarta, 1982.
Ulwan ,Abdullah Nashih., Tarbiyatu Al-Aulad Fi Al-Islam, Darussalam, Baerut, 1979

Tidak ada komentar:

Posting Komentar